Oleh : Efraim Lengkong (kabid hukum dan advokasi JPM Sulut jejaring BPIP-RI)
NYIURNEWS.COM – Bulan Ramadhan merupakan momentum bagi umat muslim di seluruh dunia untuk memaksimalkan kebaikan.
Tidak hanya menebar kebaikan kepada sesama manusia tetapi juga dalam bertindak menjaga bumi dan seisinya. Dan hubungan yang kita miliki dengan lingkungan, kesadaran lingkungan, dan cara kita memperlakukannya.
UU No 11 tahun 2011.
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Pemaknaan dari UU No 11 tahun 2011 bukan hanya sarana dan utilitas umum untuk pemenuhan rumah yang layak huni.
Tetapi didalamnya terkandung makna, bahwa pemerintah daerah dan para developer harus menjaga dan bertanggung jawab atas kelestarian hutan dan lingkungan berkelanjutan.
Fenomena yang terjadi di beberapa kabupaten dan kota para oknum ‘developer’ membangun tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang akan terjadi di kemudian hari.
Sebut saja di kabupaten Minahasa Utara dimana salah satu developer berusaha untuk mendorong pemerintah daerah untuk memberikan ijin kepada mereka untuk membangun perumahan seluas lebih dari 17 ha dengan ‘mengabaikan amdal’.
Beruntung masyarakat Minahasa Utara memiliki bupati Joune Ganda yang berpihak pada kelestarian alam lingkungan hidup, dan tidak tertarik dari godaan bujuk rayu dunia.
Perlu dipahami bahwa pemerintah daerah berhak untuk menolak dengan mempertimbangkan dan menggunakan “kearifan lokal” yang menjadi “hukum adat” sebagai acuan.
Untuk itu di bulan Ramadhan yang penuh kasih sayang (rahmat), pengampunan (maghfirah), penuh keberkahan (barakah), bulan kemenangan (falah), dan pembelajaran (tarbiyah).
Sejauh ini kita sering (‘digoda’ iblis’) dan berkeinginan melontarkan diri dan melihat ‘keluar,’ lalu takluk dalam simulakrum: citra, prestise, status, mode, dan gaya hidup mewah. Hal ini membuka peluang terjadinya perbuatan tidak ‘halal’ seperti ‘pungli/suap dan korupsi’ untuk kepentingan diri sendiri, korporasi dan pengusaha.
Pada titik ini secara moral manusia tercerabut dari “kebahagiaan asali” (paradiso), kesucian primordial (fitrah) dan tercampak dalam ‘kegelapan’ (inferno).
Bulan ramadhan diwarnai mengandaikan momen pengalaman sang-aku dalam ‘menyelami’ diri
dan menjadi Perenungan.
Filsuf muslim dan pentolan philosphia perennis, Seyyed Hossein Nasr dalam buku
Knowledge and the Sacred (1981) mendaku, ‘kerinduan untuk selalu kembali ke ‘Asal Yang Suci’, tidak semata dialami manusia tapi juga seluruh kosmik.
‘Naluri kosmik untuk kembali ke “Asal Yang Suci” membuat terciptanya gerak siklis bagi seluruh realitas untuk kembali keasalnya yang suci. Kesadaran Eksistensi’ yang dalam Theologi diandaikan sebagai Tuhan.
Ini pula makna esensial pesan etik Alquran: Innâ Lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn- ‘Sungguh kita semua berasal dari Allah, dan hanya kepada Allah_ kita akan ‘kembali’. (*)