Banyak Yang Menganggap Mantan Terpidana yang Ikut Pilkada Kurang Dipercaya Rakyat

Avatar photo
Gambar ilustrasi.

Idealnya Calon Gubernur Sulut Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela atau Tidak Menentang UU Nomor 10 Tahun 2016

JAKARTA, NYIURNEWS.COM Pencalonan mantan narapidana Tindak Pidana Korupsi sebagai kepala daerah jelas menentang semangat Undang-undang Nomor 10 tahun 2016. Mantan napi korupsi adalah seseorang yang terbukti melakukan perbuatan tercela.

Hal inilah yang mendasari upaya Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) mengajukan Judicial Review (JR) atau pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).

PBHM mengajukan judicial review terkait Pasal 7 ayat (2) huruf (i) Undang-Udang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Pasal 7 ayat (2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

huruf i disebutkan “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”.

Ketua Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) Ralian Jawalsen,SH.,MH, Senin pagi (8/7/2024) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) dan melakukan Judicial Review (JR) karena Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Karena itu hanya Lembaga Yudikatif MK lah yang mempunyai kewenangan meninjau apa para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi, dan/atau pernah korupsi adalah mereka melakukan perbuatan tercela atau bukan.

Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menurut Ralian, disebutkan bahwa segala warga bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

“Sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka saya mengingatkan agar MK dapat mengoreksi Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan diperbolehkannya mantan narapidana mengikuti pemilihan Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan sangat paradoks dengan Pasal 7 ayat (2) huruf i  yang menyebutkan, “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”, maka jika mantan narapidana koruptor meminta catatan kepolisian dan keterangan pengadilan  bertentangan dengan putusan tersebut,” tandas Ralian Jawalsen.

Menurutnya, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

“Bila dikatakan demokratis harus dipahami bahwa tidak sekedar dipilih oleh masyarakat, akan tetapi bahwa para calon kepala daerah itu bersih, dan memiliki amanat dalam mewujudkan kesejahteraaan masyarakat. Jelas bahwa pemberantasan korupsi adalah amanat reformasi yang harus terus disuarakan, dan tidak boleh diabaikan. Karena kebangkrutan Orde Baru dan tumbangnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden harus menjadi pembelajaran kita sebagai warga negara,” ujar mantan aktivis mahasiswa tahun 1998 ini.

Ralian mengatakan, bahwa Indonesia adalah negara hukum karena itu harus adanya supremasi, dan kepastian hukum dalam undang-undang yang berlaku, sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Menurut dia, salah satu perbuatan tercela adalah korupsi yang disebut kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dalam penanganannya tidak bisa dianggap biasa, dan korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur sehingga para pelaku korupsi, dan narapidana koruptor jika ingin maju dalam Pilkada harus dibuktikan dengan catatan kepolisian, dan surat pengadilan.

Alumnus Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu menegaskan bahwa  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan diperbolehkannya mantan narapidana mengikuti pemilihan Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan sangat paradoks dengan Pasal 7 ayat (2) huruf i  yang menyebutkan, tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian.

“Apakah polisi dan kehakiman bisa merekomendasikan bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan mantan kepala daerah yang melakukan atau pernah melakukan korupsi ditahan lalu membuat surat keterangan catatan kelakuan baik bisa dikatakan tidak melakukan perbuatan tercela,” tukasnya.

Korupsi yang dilakukan tidak hanya merugikan keuangan negara, akan tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

“Tidak jaminan mantan narapidana koruptor yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.  Karena kejahatan korupsi yang dilakukan bukan kerena khilaf, sebaliknya dilakukan dengan cara-cara sistematis, terorganisir, dan terencana. Akibat korupsi terhambat pembangunan dan minim atau kurangnya pelayanan publik yang memuaskan,” ujarnya di MK. (***)