Diduga Lamban Tindaklanjuti Laporan Kekerasan, Korban Teriakkan Ketidakadilan: “Prosesnya Panjang,” Ucap Oknum Polisi

Avatar photo
CAPTION FOTO: Terduga Pelaku dan Korban Saling Berhadapan Usai Insiden Penganiayaan di Kotamobagu Barat. (Foto: istimewa)

Ketika seorang perempuan korban penganiayaan bernama Jein A.D. Rondonuwu mendatangi kantor polisi untuk meminta keadilan, ia tak menduga bahwa proses hukumnya justru tersendat. Tak hanya menanti tanpa kepastian, ia bahkan menerima jawaban yang mengecewakan dari seorang oknum petugas: “Prosesnya panjang.” Lalu, di manakah nyali hukum ketika masyarakat kecil memohon perlindungan?

━━━━━━━━━━

Kotamobagu, NyiurNews.com ━ Dalam sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi asas keadilan, setiap laporan penganiayaan seharusnya diproses secara cepat, profesional, dan tanpa diskriminasi. Namun realitas berkata lain. Seorang warga bernama Jein A.D. Rondonuwu, melaporkan dugaan tindak pidana penganiayaan yang dialaminya pada 19 Juni 2025 ke Polres Kotamobagu, sebagaimana tercantum dalam Laporan Polisi Nomor: LP/317/VI/2025/SPKT RES KTG. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum secara sigap, korban justru menghadapi situasi yang membuatnya merasa tidak berdaya: laporan terkesan berjalan lambat, dan pernyataan salah satu oknum polisi yang mengatakan bahwa “prosesnya panjang” semakin mempertebal kesan pengabaian terhadap rasa keadilan korban.

Peristiwa memilukan itu bermula saat korban, Jein, mengalami insiden adu mulut di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, yang berujung pada dugaan penganiayaan oleh seorang pria berinisial JM. Dalam keterangannya, Jein menyebut telah didorong dan terkena hantaman yang mengakibatkan luka di tangan. Secara hukum, insiden semacam ini tergolong dalam kategori kekerasan fisik ringan yang wajib ditindaklanjuti cepat oleh aparat. Sayangnya, harapan itu pupus saat korban menerima respons yang tidak menggambarkan empati maupun profesionalisme aparat penegak hukum. Kalimat “prosesnya panjang” bukan hanya menyingkap tabir birokrasi yang berbelit, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas hukum itu sendiri.

Jika hukum hanya berpihak kepada mereka yang bersuara lantang dan berkuasa, maka untuk apa rakyat kecil melapor? Jika respons lambat menjadi norma terhadap laporan warga biasa, maka apa arti kredibilitas institusi penegak hukum? Kasus Jein Rondonuwu bukan hanya tentang luka fisik semata, melainkan luka kepercayaan terhadap institusi negara yang semestinya hadir melindungi tanpa syarat. Dalam atmosfer demokrasi modern, penundaan penanganan laporan kekerasan adalah bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusi. Karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan tindakan tegas terhadap aparatur yang menghalangi jalannya keadilan bukan hanya diperlukan, melainkan wajib ditegakkan demi menjaga marwah hukum yang tidak pandang bulu.

CATATAN REDAKSI:
Tulisan ini tidak bermaksud menuduh institusi tertentu secara sepihak, namun menjadi refleksi atas suara korban yang wajib didengar. Redaksi mendorong penyelidikan lebih lanjut, termasuk evaluasi internal terhadap kinerja aparat terkait, agar hukum tak hanya menjadi simbol di dinding, tapi nafas keadilan bagi semua warga negara. (Om Lole)