Oleh: Om Lole (*Don).
SULUT — Pertarungan politik internal dalam partai menjelang Pilkada semakin memanas, menunjukkan bagaimana proses demokrasi dapat diuji oleh berbagai dinamika dan ambisi kekuasaan.
Saat ini, desentralisasi kelembagaan partai dari tingkat pusat hingga pengurus desa/kelurahan menciptakan tantangan tersendiri dalam menentukan calon pemimpin yang akan diusung.
Dalam konteks politik lokal, rekam jejak calon sangat diuji di mata rakyat.
Namun, fenomena ambisi kekuasaan sering kali menjadi faktor pengganggu.
Dominasi kelompok tertentu yang memaksakan kehendak, bahkan dengan ancaman, menciptakan suasana politik yang toksik.
Tekanan untuk mendukung calon tertentu atau menjadi apatis setelah gagal dicalonkan menjadi perilaku yang merusak proses demokrasi.
Gaya politik “buka dada”—yakni memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan realitas politik—dinilai sebagai cerminan dari kurangnya pengalaman dan pembelajaran politik.
Mereka yang mengadopsi gaya ini sering kali terjebak dalam over confidence, mengabaikan dinamika politik yang sebenarnya.
Hal ini kerap kali memicu konflik internal dan merusak upaya partai untuk memenangkan hati rakyat.
Di tengah dinamika ini, media sosial memainkan peran penting dalam memanipulasi opini publik, sering kali menjadi alat bagi politisi busuk yang berusaha meraih kekuasaan dengan cara-cara yang tidak etis.
Manipulasi melalui media sosial dan rekayasa politik kekuasaan menjadi strategi yang merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat.
Sejarah politik Sulawesi Utara menjadi pelajaran penting, di mana beberapa kepala daerah sebelumnya terjerat kasus korupsi setelah memaksakan diri dalam Pilkada.
Pengalaman pahit ini mengingatkan kita akan bahaya ambisi tanpa kendali dan pentingnya integritas dalam kepemimpinan.
Masyarakat Sulawesi Utara diakui memiliki sejarah panjang dalam demokrasi Indonesia, dan daerah ini sering kali menjadi pilot project dalam proses politik.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang bertarung dalam Pilkada untuk menghentikan cara-cara berpolitik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Proses demokrasi harus dilihat sebagai satu-satunya jalan menuju kemenangan yang adil, di mana hati nurani rakyat menjadi penentu utama.
Demokrasi memberikan rakyat kebebasan untuk memilih pemimpin yang teruji, berintegritas, dan memiliki rekam jejak yang baik.
Dengan demikian, setiap calon dan pendukungnya diharapkan dapat menjalani proses politik dengan hati nurani, iman, dan komitmen pada kebenaran dan keadilan.
Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak rakyat dan mampu memimpin dengan baik demi kesejahteraan bersama.