Tangis di Balik Pisang Curian: Nestapa Anak Yatim yang Dihukum Tanpa Belas Kasihan

Avatar photo
Ket foto: Diarak dan Dipermalukan: Anak Yatim Ini Mengajarkan Kita Kejamnya Dunia. Seorang anak yatim piatu di Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, diarak warga karena mencuri pisang demi memberi makan adiknya. (Foto: Instagram @viralrembang)

NYIURNEWS.com — Di sebuah sudut desa yang jauh disana, seorang anak berjalan gontai, memikul tandan pisang dengan segenap harapannya yang tersisa. Wajahnya pucat, matanya basah, tetapi langkahnya tetap teguh. Ia tak mencuri untuk kesenangan, bukan untuk kemewahan, bukan pula untuk sekadar memenuhi ego. Ia hanya ingin memastikan adiknya tidak tidur dengan perut kosong malam itu. Namun, dunia yang kejam menolak memahami -tangan-tangan tanpa belas kasihan menyeretnya ke jalanan, mengaraknya bagai penjahat kelas kakap.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, anak yatim piatu dalam video viral itu merupakan warga Kecamatan Trangkil, Pati, berinisial APP (17). Peristiwa itu terjadi di kebun pisang milik warga Tlogowungu, Kamari (50) pada Senin (17/2/2025) sekitar pukul 15.30 WIB.

AAP (17), seorang anak yatim piatu dari Dukuh Pangonan, Desa Gunungsari, Tlogowungu, hidup dalam gelapnya kemiskinan. Ibunya telah pergi tujuh tahun lalu, ayahnya entah di mana, meninggalkannya dengan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia muda. Bersama kakeknya yang renta, ia berjuang menghidupi adiknya yang masih kecil. Ketika rasa lapar menggigit, dan tiada tangan yang terulur membantu, ia memungut keberanian untuk mengambil pisang dari kebun warga – bukan karena tamak, melainkan karena perut sang adik tak mengenal arti harga diri.

Namun, alih-alih menemukan belas kasihan, yang ia dapati adalah penghakiman. Warga menyeretnya keluar jalan, membawa nya dalam arak-arakan keji yang menyayat nurani. Kamera ponsel merekam, jemari lincah mengunggah, beragam komentar mengalir. Seakan-akan, sebuah pisang lebih berharga dibandingkan air mata seorang anak yang kehilangan segalanya. Di mana hati nurani mereka? Apakah kemiskinan adalah dosa yang pantas dihukum dengan penghinaan di depan khalayak?

Alkitab mengajarkan, “Jangan menutup telinga terhadap jeritan orang miskin, supaya engkau tidak berseru tetapi tidak didengar” (Amsal 21:13). Tetapi hari itu, suara belas kasih seakan-akan dibungkam. Di era yang katanya modern, di mana teknologi berkembang pesat, mengapa hati manusia justru semakin primitif? Mengapa penghakiman lebih cepat dilakukan ketimbang uluran tangan? Di mana para tetangga yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi mereka yang papa?

Syukurlah, kepolisian setempat menunjukkan bahwa keadilan sejati masih ada. Kapolsek Tlogowungu memilih jalur restoratif justice, menolak menambah luka yang sudah menganga. Sebuah surat pernyataan dibuat, dan kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, akankah ini cukup menghapus kehinaan yang telah ditorehkan oleh warga yang mengaraknya? Luka fisik mungkin sembuh, tetapi bagaimana dengan luka di hati anak ini?

Peristiwa ini bukan sekadar kasus pencurian biasa. Ini adalah cerminan bagaimana kemiskinan bukan hanya perihal kekurangan materi, tetapi juga minimnya empati di sekitar kita. Hari ini, seorang anak miskin diarak karena pisang. Besok, siapa lagi yang akan menjadi korban dari keangkuhan moral manusia yang merasa paling benar? Mungkin sudah saatnya kita berhenti menjadi hakim bagi sesama, dan mulai menjadi manusia yang sesungguhnya.

✍️ (Om Lole).